Selasa, 08 September 2009

Indahnya Surabaya Abad 19






Sekolah Perhotelan dan Pariwisata Darma Cendika Surabaya

Bagaimana suasana Surabaya di masa kerajaan? Antara abad 18 sampai 19, atau antara tahun 1700 sampai sebelum 1900? Pasti sangat eksotis. Di catatan ini saya akan mengajak anda membayangkan indahnya kota kerajaan yang dijuluki Belanda, Amsterdam from the east. Kembaran Amsterdam dari timur.

Saya hanya ingin memamerkan betapa kota ini sejak pertama dibangun ditata dengan perencanaan yang matang. Tidak ditata oleh Belanda. Namun oleh keraifan lokal orang-orang besar Surabaya.

Kota ini dibangun tapi tidak sekadar memburu estetika, Namun mempetimbangkan spirit energi alam. Keseimbangan antara kekuatan pertahanan, aktivitas dagang, dan spiritualisme Jawa pesisiran.

Awal abad 17, seorang petualang Belanda, Artus Gijsels, ketika tiba di Surabaya sempat mencatatkan kekagumanya. Saya mengutip dicatatannya di Buku Belanda berjudul Figur Tokoh Sejarah Belanda, Arfus Gijsels, Expeditie Soerabaia naar Passoeroean bij 1706 (ekspedisi Surabaya ke Pasuruan pada 1706:

Catatannya dalam bahasa Belanda kuno. Namun jika disadur dalam bahasa Indonesia artinya: “Surabaya telah diatur dengan baik sekali. Pertahannya kuat, kota ini pasti tidak dapat ditembus karena ada dua tembok pengaman kerajaan.

Yaitu di tepi kerajaan dan yang mengitari kraton. Kotanya indah dan tertib, kehidupan penduduknya dinamis. Maskipun Surabaya sedang berperang –dengan Mataram-, namun keadaan Surabaya tampak seperti biasa. Hanya keadaan di kota, banyak wanita ketimbang pria” tulisnya.

Sisa kekaguman itu masih bisa dirasakan saat ini. sisa kerajaan itu masih ada. saya akan membahas poros kota kerajaan Surabaya dalam catatan mendatang. Namun kali ini saya akan menyinggung tentang berpusat Surabaya yang berpusat di Kraton. Kampung Kraton yang kini diapit Jl Kramatgantung dan Jl Pahlawan. Disinilah sumbu cosmos spritual utara selatan dibangun. dengan penanda alun-alun yang sekarang menjadi kantor Bnak Indonesia.

Permukiman para punggawa kraton alias ‘perumahan pejabat’ berada di barat kraton, karena sisi barat sebagai simbol spiritual. sekarang ini carilah Kampung Tumenggungan dan Maspati. pasti ada di sisi barat Jl Bubutan. Disinilah dulu tempat tinggal Tumenggung dan Patih untuk urusan kerajaan.

Mari kita berjalan lebih ke barat dari sentra kraton. Disini terdapat kampung Bubutan. Peta lawas 1825 sudah temukan, ejaanya adalah Butotan. Ini artinya pintu gerbang menuju kraton dari barat.

Di tenggara ditemukan Jl Baliwerti, yang saat itu bagian dari benteng dalam keraton. Baliwerti adalah bahasa Portugis, Baluarte, artinya benteng kuat. Selain benteng kota, juga ada tembok kuat memagari kraton.

Di selatannya ada Kampung Kranggan yang menjadi permukiman para rangga, pembuat keris dan sastrawan sebagai simbol spiritual.

Di utaranya sekarang ada Jl Pawiyatan (pengajaran), inilah pondok pesantren masa kerajaan Surabaya.

Dua kampung lama yang ada dalam peta lawas 1900, sekarang hilang. Yaitu Ngabla (juru bicara kerajaan) dan Penayatan (anggota dewan pengurus kerajaan).

Di bagian selatan Kraton ada kampung Praban sebagai permukiman Prabu. Selatan Praban atau di barat Jl Tunjungan masih ditemukan kampung Ketandan, abad lampau masih bernama Ketandang atau Prang Tandang. Disinilah barak para prajurit kerajaan tinggal.

Tempatnya yang di selatan bersinggungan dengan spritual simbol kekeluargaan. Taman kota juga berada di selatan alun-alun kidul. Taman yang dipenuhi bunga teratai putih itu kemudian dijadikan penandana nama Tunjungan (teratai putih).


***
Jika di barat, ada pintu kerajaan yang bernama Butotan, di timur ada Lawang Seketeng. Ingin tahu dimana kampung itu sekarang. tepatnya di bagian utara Peneleh. Lawang Seketeng artinya pintu yang menghubungkan kraton sebagai ‘jantung’ dengan timur sebagai simbol keduniaan dan pekerja.

Saya mengajak Anda menyusuri kampung-kampung di luar tembok kraton bagian timur. Sesuai dengan simbolisasi energinya, kawasan ini diperuntukkan sebagai sentra aktifitas perdagangan kawulo alit, nama kampung menujukkan profesi penghuninya. Beberapa kampung ejaannya berubah. Namun saya berpedoman pada ejaan di peta lawas dua abad silam.

Di timur Kalimas ada Pandean (tempat pande besi), Plampitan (tempat pembuat tikar) karena lampit artinya tikar. Peneleh adalah bozem atau waduk air untuk pematusan kerajaan. Pengopohan -bagian barat Undaan- artinya tanah liat merah, diperkirakan disini tempat pembuatan gerabah.

Pecindilan abad lampau bernama Cinde yang artinya motif kembang pada batik. Disinilah kampung pembantik motif cinde itu. Ngaglik awalnya bernama Agel, tali jerami. Tempat pengerajin tali.

Di selatannya ada Ketabang, dulu Ketabagan (menganyam gedek), Jagalan (pemotongan sapi), Ondomohen, dulu tertulis Gemohen, artinya kerajinan tangan ringan. Gubeng (-pembuat- kain pengikat kepala), Tarukan dari kata Taros atau Tari, jenis kesenian Jawa abad pertengahan. Ini diyakini kampung seniman tari.

Di benteng kerajaan paling selatan ada Keputran, tempat bermain putra-putri raja. Lokasinya dihubungkan Kalimas dengan kraton. Disini juga sempat ada kampung Sidi Keputran yang artinya guru putra-putri raja.

Gubernur Jenderal Hindia Belanda, van Imhoff, yang datang ke Surabaya pada April 1746 menuliskan kekagumannya pada kerajaan yang selama ini hanya dengar karena cerita ketangguhannya. Begini catatan sang gubernur jendral itu dalam memoarnya:

"Saya melihat ketertiban dan keindahaan Kerajaan Surabaya. Hari pertama saya gunakan berkeliling di Jalanan sekitar Keputran, dan berperahu menyusuri Kalimas yang membelah kerajaan hingga di hilir,” kesannya.
Embong Malang (kiri) Jl Tunjungan (kanan) Tahun 1880
Sekarang pohon cemara itu menjadi tugu Pahlawan. tahun 1911 masih jd alun alun sebaris dengan tanah jang jadi gedung BI. jalan ini namanya Aloon-Aloon Straat. Viaduc rel KA dibangun 1921

Selasa, 01 September 2009


Sekolah Perhotelan dan Pariwisata Darma Cendika Surabaya

he tree that never had to fight
For the sun and sky and air and light,
that stood out in the open plain,
And always got its share of rain,
Never became a forest king.

The man who never had to toil,
Who never had to win his share,
Of sun and sky and light and air,
Never became a manly man,
But lived and died as he began.

Good timber does not grow in ease;
The stronger the wind, the tougher trees;
The more the storm, the more the strength;
By sun and cold, by rain and snow,
In tree or man, good timber grows.

Where thickest stands the forest growth,
We find the patriarchs of both,
And they hold converse with the stars,
Whose broken branches show the scars
Of many winds and much strife,

This is the common law of life.

~Source Unknown

Hope you are well and please do take care.